“Kepada saudari
Fina Rohmatus Shofa. Asrama Darul Qur’an, diharap kehadirannya ke ruang bawah
tanah”. Panggilan itu menggema memenuhi ruang lingkup pesantren Ar-Rosyadiyah. Mendengar kata ruang bawah tanah hati itu
miris, siapa yang tidak takut. Ruang bawah tanah adalah ruang, dimana para
santri yang melanggar akan disidang oleh bawahan-bawahan malaikat malik
(panggilan para santri kepada keamanan), ruang mati rasa, mati jiwa, penyubat
aliran darah, dan entah... Hatiku terpental saat namaku dipanggil, aku tak tau
apa masalahku, yang pasti aku yakin aku tidak melanggar aturan pesantren. Tapi
panggilan itu.... Kakiku tetap membeku tak mampu
dihilangkan hingga panggilan itu berulang sampai tiga kali, namun tubuh berdiri
ku tetap meringkuk disudut dalam kamarku, serasa semuanya akan menjepit jasad
tak berdayaku.
“Brack...
Brack... Brack. Buka yang di dalam”.
Dobrak mbak Lastri
seorang keamanan pesantren.
“Brack...........
Fina !”
“Bagus......
dimana kamu simpan telingamu? atau sudah tidak bisa mendengar, tertutup
kerudung besarmu yang telah kamu pakai sebagai topeng kebusukanmu?”
Katanya penuh
murka, aku seperti makhluk yang sangat menjijikkan baginya hingga ia
menumpahkan seluruh tinta hitam kebenciannya padaku, rupanya ia berhasil
mendobrak pintu kamarku.
“Maaf mbak,
bukunya....................”.
“Jangan basa-basi”.
“Tapi salah saya
apa mbak?!”
“Jangan sok suci
kamu Fin, semua akan dijelaskan diruang bawah tanah nanti”. Jawabnya, tanpa
sedikitpun memperdulikan peperangan dalam hatiku.
Dengan
terpaksa kulangkahkan kakiku meskipun
berat. Dengan kawalan mbak Lastri dan mbak
Iffah, aku menuju ruangan yang tak sama sekali aku impikan ada didalamnya, di
lorong-lorong itu banyak mata yang di pasang di sana. Aku tak berani menyapanya
satu persatu, mungkin berbagai sangkaan pasti mewarnai perbicangan mereka
semua. “Ya Allah tabahkanlah hati hamba”. Ku kekalkan lafadz dzikrullah sebagai
penyejuk dan penerang hatiku yang mulai gundah. Mengingat petuah ustad ala bii dzikrillahi tadmainul qulub.
Ku
berkelana dengan senja diiringi gemerincingku yang bertahta. Ku tulis semua rasa sakit hatiku di agenda hitamku. Aku tak tau kepada siapa
menuangkan semua tinta-tinta hitam pekatku. Di bawah naungan pohon palm depan
kamarku semuanya menjadi saksi bisu akan diriku. aku tersenyum disana, tertawa
disana, menangis disana. Semuanya kutumpahkan disana. Biarlah benda tak berakal
itu yang menjadi saksi dan teman sejatiku.
“Fin. Kamu
kenapa? Sudah dua hari ini kamu terlihat murung”.
Sapa lisa reman
kamrku yang sembari duduk disampingku.
“Ngga’ ko’ Lis,
aku ngga’ kenapa !”
Dengan begitu lemah aku menanggapi sapaan
perhatiannya.
“Mulutmu boleh
bohong, Tapi sinar matamu tidak”.
Bukannya kamu
sering bilang “alkadzibu qoribun
ilannari”.
“Lisa.............
aku....”
Embun putih suci
menetes dipipiku, kupeluk tubuh Lisa begitu erat, aku merasa mungkin hanya dia
yang masih mau menemaniku. Aku semakin larut dalam tangis dipelukannya.
“Fin. Aku tau
siapa kamu. Jangan berkecil hati. Ceritalah, jangan sampai hatimu kosong kenapa
karena panggilan di ruang bawah tanah itu. Memang, orang yang pernah masuk
dalam ruangan itu akan di cap alakal.bangsat, jahat, tidak tahu malu. Oleh karena itu tidak bagiku, karena aku kenal
siapa Fina. Seorang hafidzah.
Ketua OSIS, organizatoris. Aku yakin
ini hanya sandiwara orang-orang yang iri padamu”.
“Lisa. Aku ngga’
bisa tuk menceritakan ini semua, ini bukan hanya aib bagiku tapi juga bagi
pesantren ini aku telah mengotori nama baik pesantren ini, meskipun hati nuraniku
tahu kalau ini hanyalah fitnah”.
“Idfa’ billati hiye
ahsan. Ingatlah ayat itu dan
kamu tidak boleh berkata seperti itu. Kamu tidak salah Fina.....”.
“Mba’ Lastri
bilang. Aku sering ketemuan dengan ketua OSIS
putra”.
Dengan
tertunduk, sedikit
ku coba mengeluarkan rangkaian batu-batu kata menyesatkan dada
ini, aku semakin merasa kalau semuanya pasti membenciku dan kecewa padaku.
“Dia tahu dari
siapa ?” Tanya lisa penuh tanggap.
“Dari keamanan
putera dan salah satu santri disini
yang katanya pernah melihatku makan berdua di sebuah
restoran. Padahal itu tidak pernah..............! aku bertemu dengannya hanya
sekali. Itupun aku bersama Anna dan membicarakan tentang kinerja Osis ke depan. Karena kita tidak begitu leluasa
kalau hanya dengan pena”.
Air mataku masih menetes. Berharap
menjadi saksi akan kata-kataku. Aku tak berani mendongakkan kepala. Aku malu,
malu pada dunia. Lisa tetap membiarkanku larut dalam tangis. Mungkin dia
mengerti kegundahan hatkiku.
“Maksud kamu.
Kamu dituduh pacaran dengannya.....?”
“Ya begitulah
Lis”. Jawabku menegaskan.
“Lalu kapan
sidangnya akan dilanjutkan ?”
“Insyaallah
nanti malam. Doakan aku ya... semoga kebenaran itu terungkap, aku akan libatkan
Anna sebagai saksi dan juga kartu peridzinanku sebagai bukti”.
“Menurutmu itu
akan berhasil.............?” Tanya Lisa masih ragu.
“dha’ maa yuribhuka ila maa laa yuribuuka” aku menjawab begitu mantap. Karena ku tahu. Aku
berada dipihak yang benar dan Allah selalu, selalu bersama orang-orang yang
benar. Aku yakin keberhasilan itu pada Lisa yang sepertinya tidak begitu yakin
akan usaha tapi entah...... apa yang membuatna tidak begitu yakin.
Hangatnya
mentari di ufuk dhuha mampu mencairkan bukit-bukit es di mataku, menghentikan
gemuruh dihatiku. Laksanakan dhuha empat raka’at. Pada raka’at
terakhir, sengaja ku perlama sujudku.
Memohon agar selalu berada di bawah naungan Rahman
dan Rohim-Nya. Diselamatkan dari
fitrah dunia juga akhirat. Ku tumpahkan semua ke gundahan hatiku, embun putih
suci semakin semangat mengalir membasahi pipiku yang akan selalu menjadi saksi
bisu atas ketidakmampuannya.
Selesai sholat, aku
masih merungkuk di dalam mushollah, enggan rasanya untuk menginggalkan tempat
yang begitu mulia itu. Tanganku menyentuh lembut mushaf kecil milikku, ku bila lembaran yang bertuliskan Surat Al-Waqiah dan dilangsungkan dengan
Surat Al-Kahfi yang sudah menjadi
keistiqomahanku setiap jumat.
“Fin, Fina…….. aku cari-cari kamu dari tadi” Teriak Lisa, menghampirinya
yang mulai merapikan mukenah.
“Memangnya ada lis ?”
“Engga’, Cuma mau tahu kabar tentang siding kedua kamu itu”.
“O……….” jawabku agak ketus
“Kok Cuma O…………… sich”.
“Tak berhasil pada kambing hitam dibalik semua itu, entahlah aku tak
mengerti siapa yang tega mengambil kartu peridzinanku dan meraka pun tidak
percaya dengan kesaksian Anna. Karena persepsi mereka, bisa saja aku
berkompromi dengan Anna”.
“Agak kesalku menjawab. Ingin rasanya aku marah, marah pada semuanya.
Namun aku begitu lemah untuk itu terperosok dalam jurang yang membuatku tak
berdaya. Akan tetapi hatiku tetap berkata Allah punya rencana lain dan bagi hambanya
yang sabar”.
“Sabarlah saudaraku, Allah mencintaimu”.
“Insyallah aku akan sabar dan terus maju merapati rel kebenaran karena
aku yakin akan kesholihan dalam salah satu ayat Surat Al-Baqoroh itu”.
“Maksud kamu ?”
“layukallifullohu nafsan illa
wus’aha”.
jika Allah memberikan kerikil tajam kepadaku, itu artinya Allah taju
kalau aku sanggup dibebani kerikil tajam ini. Meskipun dalam kesangguan itu
membutuhkan banyak pengorbanan”.
“I proud you my frend. Aku yakin kamu pasti bisa
membawa tirai hitam itu”, kata Lisa sambil menepak-nepak pundakku.
“Thanks Lis. Aku butuh dukunganmu “
Balasku karena dengan itu, aku termotovasi. Aku menjadi lebih kuat.
Sedikit banyak aku merasa berhutang budi padanya.
“O……. apa Lis, Semoga disidang ketiga nanti. Allah membentangkan jalan
bagiku”.
“Aminn…… apa usahamu selanjutnya ?” Tanya Lisa penuh perasaan.
“Aku akan minta bantuan ustadzah yang bertugas member idzin santri yang
akan..”
“Ustadzah Lailatul Hasana………?” sanggah Lisa sebelum ku sempurnakan
kalimatku.
“Ya. Karena hanya beliau satu-satunya orang yang bisa membantuku ”.
“Kamu yakin…..?” Tanya Lisa meragukan.
“Kenapa tidak…..?”
“Aku berdoa, semoga lancar. O… Apa Fin. Aku harus pergi dulu” kata Lisa
sembari bangkit dari duduknya.
“Ya…. Lis, terimakasih”. Mataku membuntut sesosok Lisa yang bagiku
adalah pahlawan, sampai sosok ini hilang di balik dinding pemisah yang tebal.
Kembali ku terpaku dalam kesendirian. Aku semakin merasa berhutang budi
padanya. Karena telah merelakan punggunya menjadi sandaran dalam tangisiku dan
dia pulalah yang memawarnai hari-hariku.
“Fina….. ayo. Tidak
usah ragu lagi”. Ajak ustadzah Laila di hari persidanganku yang ke tiga. Aku
sangat bersyukur karena beliau telah sudi untuk membantu.
“Baik, ustadzah !” Jawabku singkat
penuh keyakinan.
“awali langkahmu dengan bismillah, agar ridho Allah menyertaimu”, ingat
ustadzah Laila.
Peringatan itu menyentuh dasar kalbuku, membuat ku
tersadar dari tidur panjangku. Selama ini. “Ya Allah, hamba khilaf”. Malu,
sungguh memalukan peringatan itu akan ku ingat selalu di setiap langkahku.
Keyakinanku pun semakin bulat, tirai hitam sebentar lagi akan tersingkap. Aku
semakin tegar berjalan di samping ustadzah Laila. Perasaan takut, khawatir dan
ragu, semuanya telah terharpus oleh sebuah kalimat.
“Bismillah hirrohman
nirrohim”
Pintu ruang tersebut sudah terbuka, mungkin sudah
disiapkan sebelumnya lafadz dzikirullah
tak pernah hentu ku hembusan bersama nafas-nafasku dalam peremang-remangan. Ku
tangkap beberapa sosok tubuh yang tak asing lagi bagiku. Namun ketika
kujatuhkan pandanganku di sudut ruangan. Mataku mengkopi bayang seseorang yang
selama ini berada disampingku.
“Lisa…………..? Lisakah engkau ?” telingaku memastikan dalam
keremang–remangan.
“Ya…..” jawabnya singkat.
“Lisa, kau adalah melaikat penolongku”.
“ Mengapa kamu tidak bercerita kalau kamu juga akan hadir disini ?”
“Jangan sentuh aku ?”
teriaknya sambil menghemmbuskan tubuku yang hendak memeluk sesosok tubuh
yang menurutku malaikat yang akan memberiku dalam masa lalu.
“Lisa, kamu lisa kan………?”
tanyaku tak percaya, air mataku jatuh ketika mengetahui sikap lisa yang
berubah. Mungkinkah dia bersandiwara atau tidak, aku semakin tak mengerti
sebab-sebab semua itu, ku tertunduk pasrah, tak tahu lagi apa yang harus
dilakukan. Sikap Lisa menjadi misteri bagiku
“Ya Allah, bimbinglah hamba”.
“Fina…….. Lisa…… dipersilahkan duduk dikursi yang telah dipersiapkan.
“Kata mbak lastri tiba-tiba menghentikan peperangan perasaanku.
“Sekarang saya persilahkan Lisa tuk angkat bicara”.
“Sebelumnya terimakasih. Mba’ Lastri… selama ini Fina selalu bercerita
kepada saya, saya adalah ladangnya untuk menumbuhkan bibit-bibit kebodohannya.
Tapi sekarang saya sudah tidak ketat lagi. Mba’…. Dia memang menjalin hubungan
dengan ketua Osis putera”.
“Nda’ mba’, itu bohong”. Sanggahku yang tidak terima akan kesaksiannya.
“Lisa… aku tidak habis fikir, tidak ingatkah kamu Lis …………. “
“Mana Al-Qur’anmu Lis” sambungku penuh kecewa.
“Jangan kau pertontonkan kemahiranmu dalam teater disini, bawa-bwa ayat
Al-Qur’an lagi. Semua orang sudah tau Fin….. kamu memang mahir berteater. Tapi
sekarang bukan saatnya pementasan”.
“Lisa……… sedang kerasukan kamu sepasang…….?”
“Sudah.” Ini ruang sidang. Bukan ruang perdebatan. Lisa kalau memang
benar apa yang dapat kamu jadikan bukti sebgai penguat kesaksianmu ?”.
“Buktinya ini mbak.”
Jawab Lisa sambil menyerahkan sebuah kartu peridzinan.
“Aku terkejut”. Mungkin itu kartuku ?
Tapi mengapa di tangan Lisa. Padahal kartu itu hilang ?”. bisikku dalam
hati penuh teka-teki.
“Apa maksudnya Lisa ?”
Tanya mbak Lastri sambil membolak-balikkan kartu pemberian Lisa
tersebut.
“Pada sidang kedua, fina tidak membawanya dengan alasan hilang, karena
takut menerima pernyataan yang seharusnya ia terima, ia sengaja memperlama
sidangnya, ia iu cerdik, cerdas, tidakkah ada se bersit kecurigaan dalam
fikiran mba’ ?”
“Maksud kamu apa Lis, dengan menyerahkan kartu peridzinanmu ini ?”
“Itu kartu peridzinannya Fina mbak”.
“Lisa, ini serius bukan maen-maen. Kamu tidak sedang sakit kan………?”
kata mbak Lastri, sambil menyerahkan kembali kartu tersebut.
“Kenapa ini bernama saya, padahal………..”
“Padahal kamu sudah mengambil kartu peridzinan Fina kemudian
menggantinya, tapi sayangnya jari-jarimu lebih jujur mengatakan siapa yang
salah dan siapa yang benar. O…iya, buku besar yang berisi catatan satri yang
idzin keluar juga kamu ambilkan….?”
Ustadzah laila mulai angkat bicara, sedikit-sedikit aku mulai mempunyai
harapan untuk membuka tirai hitam itu.
“Lisa, bukalah topengmu, yang terbukti bersalah bukan aku tapi kamu,
kamu sudah terjebak oleh kata-kata manis yang kamu rangkai sendiri”.
Kataku pelan, setelah yakin akan kesalahan Lisa.
“Omong kosong, kamu sengaja menjebakku kan ?!!. dari dulu aku sudah
membencimu Fin. Kamu ini pembawa petaka bagiku. Kamu masih santri baru di sini.
Tapi aku sudah muak dengan mu, karena kamu telah merebut semua impianku,
kedudukanku juga. Aku fikir dengan menenggelangkanmu dalam masalah ini, kamu
akan di usir dari pondok ini. Tapi kamu terlalu picik. Dasar manusia bertopeng,
aku benci, benci kamu Fin………”
Teriak Lisa tak karuan. Dengan begitu saja ia meninggalkan ruang bawah
tanah. Aku masih mencerna kembali kata-kata Lisa, memikat kembali memori
membangkitkan itu, Namun syukur Alhamdulillah aku persembahkan pada sang
pemilik sifat Ar-rohman dan Ar-rohim,
karena telah membentangkan jalan bagiku tuk membuka tirai hitam itu.
Edisi 26-01-13
Engkau poles kata-katamu penuh arti
Setelah mawar merah merona adalah bibirmu
Setelah nil terpanjang adalah lidahmu
Relakan aku berenang di sungai kebohonganmu
Kapas kelabu mengatapiku
Hari ini. . . .
Dunia seakan runtuh
Rasanya ingin sekali bumi menelanku
Tawaku terleminasi
Tergantikan leh tangis
Air mataku dirajam
Tak mampu dikeluarkan
Dan tak mampu pula ditahan
Teroris……
lidah……
bibir……
suara……
dan kata……
semua dapat dipoles
semua dapat dibekukan dan
pula dapat dicairkan
berubah-berubah
hingga dapat mendatangkan
kiamat sebelum waktunya
ketika mentari mulai kembali keperaduannya, kutulis syair-syair qolby ini untuk menyerang sesosok Lisa yang akhir-akhir
ini hinggap dalam memory hidupku.
“Fina….. jangan selalu melamun. Masalhnya sudah selesai kok. Satu
pelajaran untukmu. Ingat itu”. Sapa Ustadzah Laila ketika ia hendak pergi ke
kamar mandi.
“Ia Ustadzah.. Terimakasih pesannya. Berkat bantuan ustadzah akhirnya
maalah ini selssai”.
Berterimakasilah kepada Allah. Semuanya karena Allah. Bukan karena saya
tidak harus ada penyesalan ataupun kebencian, ingatlah ayat Allah “fa’tabiruu ya ulil abshor”.
“Pasti Ustadzah. Saya tidak pernah menyesal telah ikut dalam permainan
itu. Karena dari kejadian itu. Saya mendapat inspirasi dalam dunia kepenulisan
saya. Alhamdulillah”.
“Puji syukur kepada Allah. Kamu memang anakku yang paling cerdas. Tidak
semua yang Allah berikan dalam kemasan buruk, itu buruk. Jika kita melihatnya
dari dunia yang lain. Cobalah untuk mencari poin menguntungkan”. Dalam problem
itu, jangan-jangan poin menjatuhkan siapa saja. Niscaya akmu akan lebih mudah
untuk menerimanya, karena Allah tidak pernah menyakiti hambanya.
Aku diam membisu merenungi ucapan ustadzah Laila.
Kalimat sederhana namun penuh makna mengingatkanku pada oretan pena Ummu Attoilah. Salah satu kakak
tingkatku. Dalam agenda hitam hidupku tertulis oretan penanya yang menyesakan
akan kewibawaannya.
17 November 2010M
10 dzulhijjah 1431 H
“Lepaskan. Semua rasa dendam. Benci. Iri. Dengki.
Takabbur. Dsb
Lepaskan…………..!
Lepaskan…………..!
Lepaskan…………..!
Jangan tinggalkan setitik noktahpun rasa itu masih bercokol di hati
biarkan. Idzinkan hati ini tuk dapat beriktirahat sejenak.
Biarkan dan izinkan hati ini merasa ringan
Dan rasakan.
KEBAHAGIAANYANG SESUNGGUHNYA
Saat kita merasa lebih ringan tersenyum
Saat kita merasa lebih mudah memanfaatkan
Saat kita merasa dunia lebih luas dan
Saat tali ufhuwah itu kembali terakat
So……….
Masihkah kata tufakan dengan sebuah “Rasa” yang terbang sia-sia ?
Adikku…. Tersenyumlah. Niscaya dinia akan menylur senyum pula untuk mu.

