Selasa, 30 April 2013

SAPAAN LEMBUT KERIKIL TAJAM


“Kepada saudari Fina Rohmatus Shofa. Asrama Darul Qur’an, diharap kehadirannya ke ruang bawah tanah”. Panggilan itu menggema memenuhi ruang lingkup pesantren Ar-Rosyadiyah.  Mendengar kata ruang bawah tanah hati itu miris, siapa yang tidak takut. Ruang bawah tanah adalah ruang, dimana para santri yang melanggar akan disidang oleh bawahan-bawahan malaikat malik (panggilan para santri kepada keamanan), ruang mati rasa, mati jiwa, penyubat aliran darah, dan entah... Hatiku terpental saat namaku dipanggil, aku tak tau apa masalahku, yang pasti aku yakin aku tidak melanggar aturan pesantren. Tapi panggilan itu.... Kakiku tetap membeku tak mampu dihilangkan hingga panggilan itu berulang sampai tiga kali, namun tubuh berdiri ku tetap meringkuk disudut dalam kamarku, serasa semuanya akan menjepit jasad tak berdayaku.
“Brack... Brack... Brack. Buka yang di dalam”.
Dobrak mbak Lastri seorang keamanan pesantren.
“Brack........... Fina !
“Bagus...... dimana kamu simpan telingamu? atau sudah tidak bisa mendengar, tertutup kerudung besarmu yang telah kamu pakai sebagai topeng kebusukanmu?”
Katanya penuh murka, aku seperti makhluk yang sangat menjijikkan baginya hingga ia menumpahkan seluruh tinta hitam kebenciannya padaku, rupanya ia berhasil mendobrak pintu kamarku.
“Maaf mbak, bukunya....................”.
“Jangan basa-basi”.
“Tapi salah saya apa mbak?!
“Jangan sok suci kamu Fin, semua akan dijelaskan diruang bawah tanah nanti”. Jawabnya, tanpa sedikitpun memperdulikan peperangan dalam hatiku.
Dengan terpaksa kulangkahkan kakiku meskipun berat. Dengan kawalan mbak Lastri dan mbak Iffah, aku menuju ruangan yang tak sama sekali aku impikan ada didalamnya, di lorong-lorong itu banyak mata yang di pasang di sana. Aku tak berani menyapanya satu persatu, mungkin berbagai sangkaan pasti mewarnai perbicangan mereka semua. “Ya Allah tabahkanlah hati hamba”. Ku kekalkan lafadz dzikrullah sebagai penyejuk dan penerang hatiku yang mulai gundah. Mengingat petuah ustad ala bii dzikrillahi tadmainul qulub.
                      
Ku berkelana dengan senja diiringi gemerincingku yang bertahta. Ku tulis semua rasa sakit hatiku di agenda hitamku. Aku tak tau kepada siapa menuangkan semua tinta-tinta hitam pekatku. Di bawah naungan pohon palm depan kamarku semuanya menjadi saksi bisu akan diriku. aku tersenyum disana, tertawa disana, menangis disana. Semuanya kutumpahkan disana. Biarlah benda tak berakal itu yang menjadi saksi dan teman sejatiku.
“Fin. Kamu kenapa? Sudah dua hari ini kamu terlihat murung”.
Sapa lisa reman kamrku yang sembari duduk disampingku.
“Ngga’ ko’ Lis, aku ngga’ kenapa !”
Dengan begitu lemah aku menanggapi sapaan perhatiannya.
“Mulutmu boleh bohong, Tapi sinar matamu tidak.
Bukannya kamu sering bilang “alkadzibu qoribun ilannari”.
“Lisa............. aku....”
Embun putih suci menetes dipipiku, kupeluk tubuh Lisa begitu erat, aku merasa mungkin hanya dia yang masih mau menemaniku. Aku semakin larut dalam tangis dipelukannya.
“Fin. Aku tau siapa kamu. Jangan berkecil hati. Ceritalah, jangan sampai hatimu kosong kenapa karena panggilan di ruang bawah tanah itu. Memang, orang yang pernah masuk dalam ruangan itu akan di cap alakal.bangsat, jahat, tidak tahu malu. Oleh  karena itu tidak bagiku, karena aku kenal siapa Fina. Seorang hafidzah. Ketua OSIS, organizatoris. Aku yakin ini hanya sandiwara orang-orang yang iri padamu”.
“Lisa. Aku ngga’ bisa tuk menceritakan ini semua, ini bukan hanya aib bagiku tapi juga bagi pesantren ini aku telah mengotori nama baik pesantren ini, meskipun hati nuraniku tahu kalau ini hanyalah fitnah”.
“Idfa’ billati hiye ahsan. Ingatlah ayat itu dan kamu tidak boleh berkata seperti itu. Kamu tidak salah Fina.....”.
“Mba’ Lastri bilang. Aku sering ketemuan dengan ketua OSIS putra”.
Dengan tertunduk, sedikit ku coba mengeluarkan rangkaian batu-batu kata menyesatkan dada ini, aku semakin merasa kalau semuanya pasti membenciku dan kecewa padaku.
“Dia tahu dari siapa ?” Tanya lisa penuh tanggap.
“Dari keamanan putera dan salah satu santri disini yang katanya pernah melihatku makan berdua di sebuah restoran. Padahal itu tidak pernah..............! aku bertemu dengannya hanya sekali. Itupun aku bersama Anna dan membicarakan tentang kinerja Osis ke depan. Karena kita tidak begitu leluasa kalau hanya dengan pena”.
            Air mataku masih menetes. Berharap menjadi saksi akan kata-kataku. Aku tak berani mendongakkan kepala. Aku malu, malu pada dunia. Lisa tetap membiarkanku larut dalam tangis. Mungkin dia mengerti kegundahan hatkiku.
“Maksud kamu. Kamu dituduh pacaran dengannya.....?”
“Ya begitulah Lis”. Jawabku menegaskan.
“Lalu kapan sidangnya akan dilanjutkan ?”
“Insyaallah nanti malam. Doakan aku ya... semoga kebenaran itu terungkap, aku akan libatkan Anna sebagai saksi dan juga kartu peridzinanku sebagai bukti”.
“Menurutmu itu akan berhasil.............?” Tanya Lisa masih ragu.
dha’ maa yuribhuka ila maa laa yuribuuka” aku menjawab begitu mantap. Karena ku tahu. Aku berada dipihak yang benar dan Allah selalu, selalu bersama orang-orang yang benar. Aku yakin keberhasilan itu pada Lisa yang sepertinya tidak begitu yakin akan usaha tapi entah...... apa yang membuatna tidak begitu yakin.
        
Hangatnya mentari di ufuk dhuha mampu mencairkan bukit-bukit es di mataku, menghentikan gemuruh dihatiku. Laksanakan dhuha empat raka’at. Pada raka’at terakhir, sengaja  ku perlama sujudku. Memohon agar selalu berada di bawah naungan Rahman dan Rohim-Nya. Diselamatkan dari fitrah dunia juga akhirat. Ku tumpahkan semua ke gundahan hatiku, embun putih suci semakin semangat mengalir membasahi pipiku yang akan selalu menjadi saksi bisu atas ketidakmampuannya.
            Selesai sholat, aku masih merungkuk di dalam mushollah, enggan rasanya untuk menginggalkan tempat yang begitu mulia itu. Tanganku menyentuh lembut mushaf kecil milikku, ku bila lembaran yang bertuliskan Surat Al-Waqiah dan dilangsungkan dengan Surat Al-Kahfi yang sudah menjadi keistiqomahanku setiap jumat.
“Fin, Fina…….. aku cari-cari kamu dari tadi” Teriak Lisa, menghampirinya yang mulai merapikan mukenah.
“Memangnya ada lis ?”
“Engga’, Cuma mau tahu kabar tentang siding kedua kamu itu”.
“O……….” jawabku agak ketus
“Kok Cuma O…………… sich”.
“Tak berhasil pada kambing hitam dibalik semua itu, entahlah aku tak mengerti siapa yang tega mengambil kartu peridzinanku dan meraka pun tidak percaya dengan kesaksian Anna. Karena persepsi mereka, bisa saja aku berkompromi dengan Anna”.
“Agak kesalku menjawab. Ingin rasanya aku marah, marah pada semuanya. Namun aku begitu lemah untuk itu terperosok dalam jurang yang membuatku tak berdaya. Akan tetapi hatiku tetap berkata Allah punya rencana lain dan bagi hambanya yang sabar”.
“Sabarlah saudaraku, Allah mencintaimu”.
“Insyallah aku akan sabar dan terus maju merapati rel kebenaran karena aku yakin akan kesholihan dalam salah satu ayat Surat Al-Baqoroh itu”.
“Maksud kamu ?”
layukallifullohu nafsan illa wus’aha”.
jika Allah memberikan kerikil tajam kepadaku, itu artinya Allah taju kalau aku sanggup dibebani kerikil tajam ini. Meskipun dalam kesangguan itu membutuhkan banyak pengorbanan”.
“I proud you my frend. Aku yakin kamu pasti bisa membawa tirai hitam itu”, kata Lisa sambil menepak-nepak pundakku.
“Thanks Lis. Aku butuh dukunganmu “
Balasku karena dengan itu, aku termotovasi. Aku menjadi lebih kuat. Sedikit banyak aku merasa berhutang budi padanya.
“O……. apa Lis, Semoga disidang ketiga nanti. Allah membentangkan jalan bagiku”.
“Aminn…… apa usahamu selanjutnya ?” Tanya Lisa penuh perasaan.
“Aku akan minta bantuan ustadzah yang bertugas member idzin santri yang akan..”
“Ustadzah Lailatul Hasana………?” sanggah Lisa sebelum ku sempurnakan kalimatku.
“Ya. Karena hanya beliau satu-satunya orang yang bisa membantuku ”.
“Kamu yakin…..?” Tanya Lisa meragukan.
“Kenapa tidak…..?”
“Aku berdoa, semoga lancar. O… Apa Fin. Aku harus pergi dulu” kata Lisa sembari bangkit dari duduknya.
“Ya…. Lis, terimakasih”. Mataku membuntut sesosok Lisa yang bagiku adalah pahlawan, sampai sosok ini hilang di balik dinding pemisah yang tebal. Kembali ku terpaku dalam kesendirian. Aku semakin merasa berhutang budi padanya. Karena telah merelakan punggunya menjadi sandaran dalam tangisiku dan dia pulalah yang memawarnai hari-hariku.

             “Fina….. ayo. Tidak usah ragu lagi”. Ajak ustadzah Laila di hari persidanganku yang ke tiga. Aku sangat bersyukur karena beliau telah sudi untuk membantu.
“Baik, ustadzah !”  Jawabku singkat penuh keyakinan.
“awali langkahmu dengan bismillah, agar ridho Allah menyertaimu”, ingat ustadzah Laila.
Peringatan itu menyentuh dasar kalbuku, membuat ku tersadar dari tidur panjangku. Selama ini. “Ya Allah, hamba khilaf”. Malu, sungguh memalukan peringatan itu akan ku ingat selalu di setiap langkahku. Keyakinanku pun semakin bulat, tirai hitam sebentar lagi akan tersingkap. Aku semakin tegar berjalan di samping ustadzah Laila. Perasaan takut, khawatir dan ragu, semuanya telah terharpus oleh sebuah kalimat.
“Bismillah hirrohman nirrohim”


Hampa, kering, bisu. Aku bagaikan berada di alam kubur, tidak ada suara, tak ada matahari, hanya sebuah lampu menyala yang menerangi lorong-lorong menuju ruangan itu. Semua menakutkan, aku terus melangkah bersama iringan basmalah. Ku liat erat bungkusan plastik air mataku, ku paksakan memasang topeng keceriaan di wajahku. Berusaha tetap tersenyum meskipun berat.
Pintu ruang tersebut sudah terbuka, mungkin sudah disiapkan sebelumnya lafadz dzikirullah tak pernah hentu ku hembusan bersama nafas-nafasku dalam peremang-remangan. Ku tangkap beberapa sosok tubuh yang tak asing lagi bagiku. Namun ketika kujatuhkan pandanganku di sudut ruangan. Mataku mengkopi bayang seseorang yang selama ini berada disampingku.
“Lisa…………..? Lisakah engkau ?” telingaku memastikan dalam keremang–remangan.
“Ya…..” jawabnya singkat.
“Lisa, kau adalah melaikat penolongku”.
“ Mengapa kamu tidak bercerita kalau kamu juga akan hadir disini ?”
“Jangan sentuh aku ?”
teriaknya sambil menghemmbuskan tubuku yang hendak memeluk sesosok tubuh yang menurutku malaikat yang akan memberiku dalam masa lalu.
“Lisa, kamu lisa kan………?”
tanyaku tak percaya, air mataku jatuh ketika mengetahui sikap lisa yang berubah. Mungkinkah dia bersandiwara atau tidak, aku semakin tak mengerti sebab-sebab semua itu, ku tertunduk pasrah, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Sikap Lisa menjadi misteri bagiku
“Ya Allah, bimbinglah hamba”.
“Fina…….. Lisa…… dipersilahkan duduk dikursi yang telah dipersiapkan.
“Kata mbak lastri tiba-tiba menghentikan peperangan perasaanku.
“Sekarang saya persilahkan Lisa tuk angkat bicara”.
“Sebelumnya terimakasih. Mba’ Lastri… selama ini Fina selalu bercerita kepada saya, saya adalah ladangnya untuk menumbuhkan bibit-bibit kebodohannya. Tapi sekarang saya sudah tidak ketat lagi. Mba’…. Dia memang menjalin hubungan dengan ketua Osis putera”.
“Nda’ mba’, itu bohong”. Sanggahku yang tidak terima akan kesaksiannya.
“Lisa… aku tidak habis fikir, tidak ingatkah kamu Lis …………. “
“Mana Al-Qur’anmu Lis” sambungku penuh kecewa.
“Jangan kau pertontonkan kemahiranmu dalam teater disini, bawa-bwa ayat Al-Qur’an lagi. Semua orang sudah tau Fin….. kamu memang mahir berteater. Tapi sekarang bukan saatnya pementasan”.
“Lisa……… sedang kerasukan kamu sepasang…….?”
“Sudah.” Ini ruang sidang. Bukan ruang perdebatan. Lisa kalau memang benar apa yang dapat kamu jadikan bukti sebgai penguat kesaksianmu ?”.
“Buktinya ini mbak.”
Jawab Lisa sambil menyerahkan sebuah kartu peridzinan.
“Aku terkejut”. Mungkin itu kartuku ?
Tapi mengapa di tangan Lisa. Padahal kartu itu hilang ?”. bisikku dalam hati penuh teka-teki.
“Apa maksudnya Lisa ?”
Tanya mbak Lastri sambil membolak-balikkan kartu pemberian Lisa tersebut.
“Pada sidang kedua, fina tidak membawanya dengan alasan hilang, karena takut menerima pernyataan yang seharusnya ia terima, ia sengaja memperlama sidangnya, ia iu cerdik, cerdas, tidakkah ada se bersit kecurigaan dalam fikiran mba’ ?”
“Maksud kamu apa Lis, dengan menyerahkan kartu peridzinanmu ini ?”
“Itu kartu peridzinannya Fina mbak”.
“Lisa, ini serius bukan maen-maen. Kamu tidak sedang sakit kan………?”
kata mbak Lastri, sambil menyerahkan kembali kartu tersebut.
“Kenapa ini bernama saya, padahal………..”
“Padahal kamu sudah mengambil kartu peridzinan Fina kemudian menggantinya, tapi sayangnya jari-jarimu lebih jujur mengatakan siapa yang salah dan siapa yang benar. O…iya, buku besar yang berisi catatan satri yang idzin keluar juga kamu ambilkan….?”
Ustadzah laila mulai angkat bicara, sedikit-sedikit aku mulai mempunyai harapan untuk membuka tirai hitam itu.
“Lisa, bukalah topengmu, yang terbukti bersalah bukan aku tapi kamu, kamu sudah terjebak oleh kata-kata manis yang kamu rangkai sendiri”.
Kataku pelan, setelah yakin akan kesalahan Lisa.
“Omong kosong, kamu sengaja menjebakku kan ?!!. dari dulu aku sudah membencimu Fin. Kamu ini pembawa petaka bagiku. Kamu masih santri baru di sini. Tapi aku sudah muak dengan mu, karena kamu telah merebut semua impianku, kedudukanku juga. Aku fikir dengan menenggelangkanmu dalam masalah ini, kamu akan di usir dari pondok ini. Tapi kamu terlalu picik. Dasar manusia bertopeng, aku benci, benci kamu Fin………”
Teriak Lisa tak karuan. Dengan begitu saja ia meninggalkan ruang bawah tanah. Aku masih mencerna kembali kata-kata Lisa, memikat kembali memori membangkitkan itu, Namun syukur Alhamdulillah aku persembahkan pada sang pemilik sifat Ar-rohman dan Ar-rohim, karena telah membentangkan jalan bagiku tuk membuka tirai hitam itu.

Edisi 26-01-13
Engkau poles kata-katamu penuh arti
Setelah mawar merah merona adalah bibirmu
Setelah nil terpanjang adalah lidahmu
Relakan aku berenang di sungai kebohonganmu
Kapas kelabu mengatapiku
Hari ini. . . .
Dunia seakan runtuh
Rasanya ingin sekali bumi menelanku
Tawaku terleminasi
Tergantikan leh tangis
Air mataku dirajam
Tak mampu dikeluarkan
Dan tak mampu pula ditahan
Teroris……
lidah……
bibir……
suara……
dan kata……
semua dapat dipoles
semua dapat dibekukan dan
pula dapat dicairkan
berubah-berubah
hingga dapat mendatangkan
kiamat sebelum waktunya
ketika mentari mulai kembali keperaduannya, kutulis syair-syair qolby ini untuk menyerang sesosok Lisa yang akhir-akhir ini hinggap dalam memory hidupku.
“Fina….. jangan selalu melamun. Masalhnya sudah selesai kok. Satu pelajaran untukmu. Ingat itu”. Sapa Ustadzah Laila ketika ia hendak pergi ke kamar mandi.
“Ia Ustadzah.. Terimakasih pesannya. Berkat bantuan ustadzah akhirnya maalah ini selssai”.
Berterimakasilah kepada Allah. Semuanya karena Allah. Bukan karena saya tidak harus ada penyesalan ataupun kebencian, ingatlah ayat Allah “fa’tabiruu ya ulil abshor”.
“Pasti Ustadzah. Saya tidak pernah menyesal telah ikut dalam permainan itu. Karena dari kejadian itu. Saya mendapat inspirasi dalam dunia kepenulisan saya. Alhamdulillah”.
“Puji syukur kepada Allah. Kamu memang anakku yang paling cerdas. Tidak semua yang Allah berikan dalam kemasan buruk, itu buruk. Jika kita melihatnya dari dunia yang lain. Cobalah untuk mencari poin menguntungkan”. Dalam problem itu, jangan-jangan poin menjatuhkan siapa saja. Niscaya akmu akan lebih mudah untuk menerimanya, karena Allah tidak pernah menyakiti hambanya.
Aku diam membisu merenungi ucapan ustadzah Laila. Kalimat sederhana namun penuh makna mengingatkanku pada oretan pena Ummu Attoilah. Salah satu kakak tingkatku. Dalam agenda hitam hidupku tertulis oretan penanya yang menyesakan akan kewibawaannya.
17 November 2010M
10 dzulhijjah 1431 H

“Lepaskan. Semua rasa dendam. Benci. Iri. Dengki. Takabbur. Dsb
             Lepaskan…………..!
            Lepaskan…………..!
Jangan tinggalkan setitik noktahpun rasa itu masih bercokol di hati biarkan. Idzinkan hati ini tuk dapat beriktirahat sejenak.
Biarkan dan izinkan hati ini merasa ringan
Dan rasakan.
KEBAHAGIAANYANG SESUNGGUHNYA
Saat kita merasa lebih ringan tersenyum
Saat kita merasa lebih mudah memanfaatkan
Saat kita merasa dunia lebih luas dan
Saat tali ufhuwah itu kembali terakat
So……….
Masihkah kata tufakan dengan sebuah “Rasa” yang terbang sia-sia ?
Adikku…. Tersenyumlah. Niscaya dinia akan menylur senyum pula untuk mu.

Senin, 29 April 2013

WAHAI SAUDARAKU , JANGAN ENGKAU keliru !!



FENOMENA MACAM APA INI?

Banyak orang yang datang ke tempat terjadinya kecelakaan “UJE”; mereka tidak hanya sekadar melihat, tapi juga berdo’a di tempat itu; ada bunga yang ditaburkan; mengambil foto dan berbagai aktifitas lainnya untuk memberikan penghormatan kepada almarhum. Na’udzubillahi min dzalik !

Saudaraku, kita semua memang kehilangan “UJE”; tapi jangan lakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya untuk menghormati dan mendo’akan beliau. Jika memang anda mampu, berziarahlah ke kuburan beliau untuk mendo’akannya dan sekaligus mengingatkan kita; bahwa kita juga akan mati dan kematian itu tak pernah pandang usia; kapan “sang maut” menjemput kita ? Jika tidak berdo’alah dari tempat di mana anda sekarang berada; mudah-mudahan Allah memberikan tempat yang terbaik untuk beliau. Jangan contohi kelakuan dan perbuatan orang-orang kafir, sehingga langsung atau tidak anda akan menjadi bagian dari orang-orang kafir tersebut. Sebab Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sudah mengingatkan, bahwa siapa yang mencontohi perbuatan sesuatu kaum, maka ia telah menjadi bangian dari kaum tersebut. Wallahua’lam.

(KH.Bachtiar Ahmad/17 Jumadil Akhir 1434 H/28 April 2013)

*dengan sedikit perubahan tanpa mengurangi inti dari nasehat beliau


SUMBER : http://www.facebook.com/photo.php?fbid=375125375930434&set=a.260661684043471.52673.188974287878878&type=1&ref=nf

Panci Balon


Alat dan bahan :
Balon        1 buah
Lilin          1 buah
Korek api  1 buah
Air secukupnya


Langkah kerja:
      Isilah balon dengan air sampai penuh, lalu tiuplah balon secukupnya.
      Nyalakan lilin kemudian bakar bagian bawah balon yang di isi air. 
     Amati apa yang terjadi!

Pertanyaan:
1.apa yang terjadi pada balon?
2. mengapa balon ketika di bakar tidak pecah?
3.temukan formulanya.......!!