Derap langkah dan decitan roda terus berlomba mengawali degup jantung yang berdetak tiap detik. Semua mulut terkunci tanpa ada kata dan suara, semua bahasa terwakili oleh langkah kaki yang kian memberontah tak dihiraukan otak. Empat orang dokter terus melangkah menuju satu arah, bersama decitan roda yang membawa satu jasad terbujur kaku tak berdaya. Mayat, mungkin itulah sebutan yang pantas.
“Cepat bawa masuk”
“Baik, sekitar 15 menit yang lalu dia meninggal dunia”.
Ucapan singkat penuh makna yang terdengar disana, satu ruang dimana tak seorangpun dapat menjangkau kecuali para petugas yang menjalankan tugas tanpa tegas. Satu ruang tanpa penerang hanya sebuah lampu kecil yang tersorot hanya pada satu tempat, dimana mayat akan disayat.
“Peralatan sudah lengkap ?”.
“Sudah”.
“Laksanakan secepatnya”.
Tangan-tangan sibuk dengan alat-alat yang akan digunakan.
S r t t t t…… mayat telah tersayat oleh pisau yang masih mengkilat. Dalam hitungan detik, semua terbelah menganga memperlihatkan organ-organ dalam yang sebenarnya tak rela.
“Bantu ambil ginjalnya”.
Organ-organ dalam sukses terangkat oleh tangan-tangan berpangkat namun tak sebelumnya menawarkan sepakat. Organ-organ itu telah terpisah dari tempatnya yang indah menuju wadah yang melahirkan tawa sumringah.
“Benang dan jarumnya, jangan sampai ada luka yang menganga apalagi sampai terlupa”.
Jarum yang berekor benang menari lincah masuk dan keluar dari kulit menembus kulit yang lain, dengan komando tangan yang sedang berangan.
“Sudah selesai Dok”.
“Ambil kain kafannya dan segera masukkan dalam peti”.
“Baik”.
Tangan-tangan itu semakin lincah bergerak, tak sedikitpun memberi celah untuk sekedar berkeluh-kesah karna lelah.
10 menit berlalu sebagaimana mestinya. 600 detik berdetak tanpa berontak. Menjadi saksi bisu terhadap satu jasad yang baru saja selesai diacak.
“Ada apa. . . . . . ? cepat selesaikan ikatannya dan segera masukkan dalam peti, atau ada yang terlupa?”
“Tidak Dok… tapi dia sedang merintih”.
“Ini mayat, jangan berhalusinasi, bukan saat yang tepat”.
“Saya tidak sedang berhalusinasi, dia memang sedang merintih”.
“Cepat selesaikan tugasmu atau kamu akan terjebak oleh keteledoran halusinasimu.”
“Ini bukan halusinasi dokter, coba……. Dengarkan !”
“Apakah kamu sudah gila.... ini mayat”.
“Dokter……..”.
“Baik......“.
Semua hening sesaat, lampu kecil yang sedari tadi menjadi penerang, mati secara tiba-tiba dan tak disangka. Semuanya semakin hening, ruangan hitam menjadi kelam membungkam.
“Khembhalhikhan orghan dhalhamkhu. Tholhong… khembhalhikhan mhilhikkhu…”
Suara lirih merintih, menagih hak milik yang teralih, terus merintih, merintih, lirih merintih.
“Khembhalhikhan orghan dhalamkhu… Tholhong khembhalhikhan mhilikkhu…”
Sunyi menyelimuti, bulu roma semakin meninggi, ruangan tanpa celah kini pucat pasi.
“Hf Hf Hf…”
Hembusan angin seperti nafas menyelinap halus menjelma nada, membisikkan suara insan yang tak bernyawa.
“Khembhalhikhan orghan dhalamkhu… Tholhong khembhalhikhan mhilikkhu…”
Rintihan itu semakin jelas, menggema memenuhi ruang kelani yang mencarkan aura mayat yang tersayat.
“Hf hf hf…” hembusan angin seperti nafas terus saja menyelinap memainkan lampu kecil dan menyulapnya menjadi diskotik antik.
“Dokter… petinya tidak bisa dibuka”.
“Jangan panik… cobalah kembali”.
“Benar-benar tidak bisa dibuka”.
“Tunggulah sebentar, ini hanya permainan semua akan baik-baik saja”.
Hawa dingin mulai menyulap ruangan kelam tak ber AC. Membuat yang sedang menghuni pucat pasi. Detak jantung semakin cepat berdetak, sunyi sepi menyanyat hati.
“Khembhalhikhan orghan dhalamkhu… Tholhong khembhalhikhan mhilikkhu…”
Rintihan lirih semakin jelas menagih, memekakkan telinga membuat risih.
“Hf hf hf…”
hembusan nafas seperti angin kian membisa memainkan bulu roma. Membawa aura kamboja yang menyengat hidung menyesakkan dada.
“Khreekk…”
pintu terkunci, lampu kecil menyala kembali, hembusan angin seperti nafas tak menyelimuti lagi. Keadaan mulai tenang, aura kemboja pun hilang.
“Tetk.. Tetk… Tekt…. satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, lima detik, enam detik, tujuh detik, delapan detik, sepuluh detik, sebelas detik…. anyir darah mulai merambas penciuman. Amis… sangat amis. Mengaduk isi perut, seakan ikut mau muntah memuncratkan darah. Semua mulai berusaha memulihkan rasa panik yang ditimbulkan. Ruangan terang kembali oleh lampu kecil yang menyala.
“Cepat selesaikan pekerjaan ini. 30 menit dalam ruangan ini sudah cukuplah lama… kita tidak boleh sia-sia”.
“Baik dokter, ada baiknya kita segera menyelesaikannya”.
Anyir darah kian menembus menusuk hidung.
“Hf hf hf….”
Hembusan angin seperti nafas kembali datang dengan aura kamboja yang menyesakkan dada.
Aura kamboja, anyir darah, menyatu, bercampur membuat resah gelisah tak tentu arah. Tangan-tangan berpangkat lincah kembali semakin kuat, memainkan jari-jari lentik tak menyisakan titik.
“Tolong. Bantu pindahkan mayatnya ke dalam peti. Waktu kita tidak lama”.
Tangan-tangan kembali semakin lincah tak memberi celah tuk menyapa lelah.
“Mayatnya sangat berat. Cobalah lebih kuat”.
Tangan-tangan kembali semakin kuat mencoba mengangkat, memindahkannya dalam peti yang sudah disediakan.
“Cepat… waktu kita tidaklah lama…”
“Baik… satu.. dua.. tiga, angkat…”
Tiba-tiba…
“Khembhalhikhan orghan dhalamkhu… Tholhong khembhalhikhan mhilikkhu…”
Kembar merintih lirih membuat risih… tangan-tangan terlepas, bulu roma pun meninggi, seperti padi yang dimainkan angin sepoy-sepoy namun misteri. Hawa dingin menyelimuti, semua mulai pucat pasi.
“Khembhalhikhann orghan dhalhamku… tholhong khembhalhikh dhulu mhilikkhu…”
“Dokter saya lepas tangan”.
“Ingat, ini hanya permainan, atau bahkan ini semua hanya tipuan”.
“Maksud dokter…?!”
Tek… satu detik, satu tali pocong terlepas… pelan namun memungkinkan. Tiga detik, lima detik, Sembilan detik, kain kafan terbuka sempurna, memperlihatkan kembali bekas jahitan yang misteri, menyisakan duka. Tek… tetk… tetk… sebelas detik sebelas jahitan terlepas, menganga meminta kembali hak miliknya.
“Hf.. hf.. hf..”
Hembusan angin seperti nafas kembali memainkan lampu kecil remang-remang. Membawa nada lirih merintih membuat risih.
Di pojok ruangan, di belakang, di depan, di samping, di bawah kasur tempat pembaringan, berkelebat sebuah bayangan, hitam-putih menyuarakan kembali rintihan.
“Khembhalhikhan orghan dhalhamku… tholhong khembhalhikhan mhilikkhu…”
“Hf.. hf… hf….”
Hembusan angin seperi nafas kembali dimainkan. Bayangan putih mulai berlompatan memainkan kain kafan, menawarkan aura kematian dokter, apa mungkin ini adalah arwah-arwah yang selama ini menjadi korban?”. Bayangan putih terus berlompatan, memainkan kain kafan.
“Hf.. hf.. hf”
hembusan angin seperti nafas kembali memainkan bulu roma. Satu bayangan datang dengan organ-organ diperlihatkan berantakan. Meleleh jatuh tak karuan, aura kematian kini memenuhi ruangan. Bayangan putih dipojok ruangan memainkan kain kafan.
“Lepaskan… Apa yang hendak kau lakukan?”
Srt. . . srt. . . srt. . . satu detik satu nyawa melayang, tiga detik, tiga nyawa melayang, dan kini……
“Hf hf hf……..” Hembusan nafas kembali membawa aura kematian bercampur anyir darah yang menyesakkan.
“Deg.. deg... deg…. dan kini......“
“Hf.. hf.. hf….”
Bayangan putih kembali berlompatan memainkan kain kafan, menawarkan kematian.
“Kau sendirian dikelilingi arwah yang menuntut keadilan.”
“Bayangan putih dipojok ruangan kini menyuarakan”.
Tetk. . . tetk. . . satu detik satu lompatan, dua detik dua lompatan, tiga detik tiga lompatan, dari pojok ruangan tinggallah sejengkal.
“Plaaap….”
Di depan mata berhadapan dengan muka pucat tak bernyawa.
“Tataplah ke depan…”
“Hf.. hf.. hf”
Hembusan angin seprti nafas kian menghisa.. usus meleleh….
“Tetk… tetk… tetk… dan….”
“tidaaaaaaaaaaaakk…”
Aura kematian sempurna menyelimuti ruangan. Aku terbangun menuju alam sadar. Dengan nafas ngosngosan kumencoba meraih satu gelas air, berharap akan tenang… namun air itu merah melambangkan darah, dan dipojok ruangan…. Bayangan putih berlompatan memainkan kain kafan beserta pisau yang siap disayatkan, dan….
“Arrgggggghhgh…………”
Permainan telah usai, kebenaran dituntut tuk ditegakkan.